Kalimat syahadat diajarkan kepada kita sejak kecil -
sebanyak dua-tiga kali atau berkali-kali - hingga kita hafal. Maknanya pun
diajarkan, entah berapa kali, hingga akhirnya - sedikit atau banyak - kita
memahami maksudnya. Apakah setiap Muslim, -sekarang ini,
melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang-tua dan para guru kita di masa silam? Kenyataan seringkah menunjukkan bahwa jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini adalah "tidak". Karenanya, bukan tidak pada tempatnya jika
ada saja orang yang mempertanyakan nilai keislaman sebagian generasi muda. Betapa tidak? Kata mereka, "Kita pun yang telah menghafal dan memahami
maksudnya masih kehilangan sesuatu yang sangat penting dari kedua kalimat
syahadat itu, sehingga seperti inilah keadaan kita."
Sesungguhnya masih ada satu hal, selain menghafal dan
memahami maksudnya, yang tertinggal, yaitu menjadikan apa yang dihafal dan
diketahui maksudnya itu sebagai pelita hati yang menyinari setiap langkah dan
sikap kita. Perhatikanlah kalimat syahadat yang kita ucapkan: Asyhadu al-la ilaha illa Allah. Kalimat ini dimulai dengan Asyhadu (saya bersaksi). Ketika Anda berkata "saya",
maka Anda menyadari bahwa Anda mempunyai wujud pribadi yang berbeda dengan orang lain. Namun demikian,
dalam saat yang sama Anda menyadari pula bahwa ada pihak lain bersama Anda,
yaitu yang mendengar atau yang kepadanya Anda memperdengarkan persaksian itu.
Bagaimana kesadaran ini dapat diterjemahkan dalam bentuk
tingkah laku? Apakah guru di sekolah, ayah dan ibu di rumah pernah mengantarkan
kita untuk menyadarinya? Ini satu hal yang ketinggalan. Kesaksian itu dimulai
dengan pengingkaran la ilaha (tiada tuhan) kemudian disusul dengan penetapan illa Allah (kecuali Allah). Pencari kebenaran akan menemui
kebenaran itu bila ia berusaha menyingkirkan terlebih dahulu segala macam ide,
teori dan data yang tidak benar dari benaknya, persis seperti yang dilakukan
oleh pengucap syahadat tersebut.
Adakah cara-cara tersebut diterapkan dalam kehidupan
kita? Ataukah cara seperti ini termasuk juga yang ketinggalan dalam pendidikan
kita? Pengucap kalimat syahadat bagaikan meruntuhkan segala kebatilan, namun
setelah itu dia tidak tinggal diam. Ia mengukuhkan suatu kebenaran: duri-duri
yang mengelilingi sekuntum bunga disingkirkannya dan yang tinggal adalah
keindahan dan semerbaknya. Kegelisahan, kecemasan, ketergantungan kepada yang
batil semua sirna, dan yang tingal berbekas adalah ketenangan, kedamaian dan kesejahteraan, tolak ukur menghadapi segala sesuatu akan sama baik di rumah maupun di kantor, baik
terhadap atasan maupun bawahan, baik terhadap si kaya maupun si miskin.
Ada tujuh sifat Allah yang kita persaksikan keesaan-Nya yang dinamai shifat ijabiyah: Kodrat (Kekuasaan), Kehendak, Pengetahuan, Hidup, Pendengaran, Penglihatan dan Kalam (Firman).
Ketujuh silaf ini juga yang merupakan kesempurnaan manusia, bila
ketujuhnya menyatu secara baik dalam diri seseorang, walaupun harus digarisbawahi bahwa yang sempurna dan mutlak sifatnya hanya Allah semata. Kekeliruan - bahkan sebab segala akibat negatif yang diderita selama ini - adalah kepincangan
silat sifat tersebut dalam diri kita.
Kita memiliki kehendak, tetapi keinginan dan kehendak kita tidak disesuaikan dengan kemampuan kita. Kita dapat berbicara, tetapi pembicaraan kita tidak didukung oleh pengetahuan. Kita mendengar, melihat,
tetapi hanya setengah-setengah, sehingga hidup dan kehidupan kita pun demikian.
Benar bukan, bahwa ada yang ketinggalan dalam rangkaian syahadat kita?
dari buku Lentera Hati : M. QURAISH SHIHAB
dari buku Lentera Hati : M. QURAISH SHIHAB
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon